Kamis, 05 November 2015

0 Memahami Paradigma-Paradigma Pengajaran


Oleh: Ana Marliana/ anamarliana10@gmail.com
Konsep “Paradigma” Kuhn (1962) memilki banyak pengertian yang berbeda-beda, yang jelas konsep tersebut telah menjadi bagian penting dalam pendidikan saat ini. Konsep paradigma Kuhn (1962) memperlihatkan bagaimana suatu pandangan menggantikan pandangan lain, sebagaimana revolusi Copernicus yang digantikan revolusi Galileo. Berikut ini akan disajikan beberapa paradigma pengajaran yang pernah digagas oleh Geoffrey Squires (1999) dengan dibantu oleh beberapa leteratur pendukung. Masing-masing peradigma memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri. Setiap kelemahan sustu paradigma seharusnya bisa ditutupi oleh kelebihan paradigma yang lain.
            Pengajaran sebagai COMMON SENSE
Terdapat dua hal yang melatarbelakangi mengapa pengajaran dianggap sebagai common sense. Yang pertama, terkait dengan pengalaman sekolah. Kedua, adalah bahwa pengajaran tidak jauh berbeda dengan apa yang kita lakukan sehari-hari. Paradigma pengajaran sebagai common sense memilki beberapa kelemahan. Diantaranya, apa yang disebut dengan kehidupan sehari hari pada hakikatnya adalah sesuatu yang kita terima secara taken for granted. Untuk menjadi pengajar yang baik, seseorang tidak bisa menerima kenyataan secara taken for granted. Ada kalkulasi rasional di dalamnya, dan ada perangkat-perangkat tertentu yang harus digunakan.

       Pengajaran sebagai SENI
Menurut Highet, pengajaran dianggap sebagai seni karena ia juga menuntut kualitas dan karakteristik personal. Sebagaimana seni, pengajaran melibatkan metode-metode, seperti bagaimana seorang pengajar harus menyukai materi dan siswanya, dan juga “kemampuan” semacam memori, kebijakan, dan kekuatan hati.
Beberapa masalah dalam paradigma pengajaran sebagai seni. Pertama, ketika pengajaran di anggap seni, maka ia akan cenderung romantik, daripada disiplin. Artinya, pengajaran hanya berfokus pada spontanitas, ekpresi, respons kretif, dan sebagainya, daripada sebagai teknik dan stretegi yang sistematis. Kedua, jika pengajaran dianggap sebagai kolaborasi gaya. Dengan demikian, konsep gaya itu sendiri sudah problematik sejak awal, sementara pengajaran saat ini harus dilaksanakan di era standar-standar dan akuntabilitas. Ada indikator-indikator yang harus dipenuhi oleh seorang guru dalam proses pengajarannya. Artinya, pengajaran bukanlah skill yang lahir dari dalam, melainkan ia juga banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal dan kebijakan-kebijakan yang sering kali “politis”.
      Pengajaran sebagai ILMU TERAPAN
Paradigma ini berawal dari asumsi dasar bahwa pengajaran merupakan kerja profesional yang turut melibatkan prinsip-prinsip ilmiah dan petunjuk tentang tugas-tugas praktis. Para ilmuwan berusaha menginvestasikan dan menemukan pola-pola serta regulasi-regulasi fundamental di dunia alamiah dan sosial. Pengetahuan mengenai pola-pola ini kemudian memungkinkan mereka untuk percaya diri menciptakan program-program yang efeknya akan memberikan hasil yang diinginkan. Paradigma pengajaran sebagai ilmu terapan menemukan kelemahannya. Pertama, model pengajaran masa kini sangat beragam. Artinya, pengajaran sebagai ilmu terapan tidaklah eklusif, karena ada banyak pendekatan-pendekatan humanistik dan psikologis yang turut mendasari proses pengajaran tersebut. Kedua, problem lain dalam paradigam ini adalah terletak pada gagasan “penerapan” dan “ilmu”. Artinya, ada perbedaan mendasar antara “penerapan” dan “ilmu”. Pengajaran sebagai ilmu sudah terbangun dengan baik dalam berbagai literatur yang ada, tetapi prose penerapannya tidak selalu sama dengan ilmu.
 Pengajaran sebagai SISTEM
Gagasan tentang kerja profesional, seperti pengajaran, juga dapat dilihat dalam konteks pengajaran sebagai sistem. Paradigma ini sering kali diasosiasikan dengan paradigma sebelumnya (pengajaran sebagai ilmu terapan), tetapi ada beberapa perbedaan yang mendasari konsep tersebut. Paradigma pengajaran sebagai sistem tak lepas dari problem. Lindblom (1959, 1979) mengkritik paradigma ini sebagai paradigma yang tidak optimistik. Bagi Lindblom, pengajaran sebagai sistem umunya lebih berkaitan dengan ranah kebijakan publik daripada kompetensi. Artinya, paradigma ini sifatnya sangat “politik”. Perencanaan pengajaran dalam diagram-diagram dan skema-skema hanya dilakukan oleh segelintir elite institusi pendidikan, seperti guru, rekan kerja, dan pegawai pendidikan.
      Pengajaran sebagai PRAKTEK REFLEKTIF
Contoh lain dari paradigma pengajaran adalah gagasan tentang praktik reflektif. Paradigma ini pertama kalinya digagas oleh Schon (1983, 1987), dan segera memiliki pengaruh luas terhadap bidang-bidang lain seperti perawatan dan kerja sosial. Gagasan ini sebenarnya lahir sebagai kritik terhadap “rasionalitas teknis” dan kepercayaan-kepercayaan lain bahwa pengajaran dapat didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah dan perencanaan nasional. Paradigma ini juga memiliki kelemahan. Jika refleksi ditempatkan sebagai satu-satunya elemen dalam aktivitas profesional, hal ini bisa melahirkan kecenderungan untuk mengabaikan pengetahuan substantif dan skill-skill yang relevan.
      Pengajaran sebagai KOMPETITIF
Paradigma terakhir adalah paradigma yang memandang pengajaran sebagai kompetensi. Terlepas dari itu, paradigma pengajaran sebagai kompetensi memiliki kelebihan tersendiri. Secara umum menekankan bidang vokasional, teknikal, dan profesional sebagaimana yang diinginkan oleh semua lulusan sekolah. Seorang guru atau pengajar tidak bisa mengabaikan satu paradigma, karena setiap paradigma memiliki kelemahan, kelebihan dan parameternya tersendiri. Mengolaborasikan keenam paradigma dalam suatu sesi pengajaran bisa menjadi pilihan yang bijak, tetapi bukan tugas yang mudah. Beberapa isu paradigmatik yang harus dipertimbangkan guru sebelum menerapkan beberapa paradigma secara kolaboratif, antara lain: kebutuhan siswa, dukungan fasilitas, sifat materi pelajaran, dan tentu saja kemampuan guru itu sendiri.

Daftar Pustaka:
Highet, G. 1963. The Art of Teaching. London: Methuen.
Kuhn, T.S. 1962. The Structure of Scientific Revolutions. Chicago: University of Chicago Press.
Lindblom, C.E. 1959. “The Science of ‘Muddling Through’”Public Administration Review, 19(2), hlm. 79-88.
Lindblom, C.E. 1979. “Still Muddling, Not Yet Through”. Public Administration Review, 39(6) hlm. 517-26.
Schon, D. 1983. The Reflective Practitioner: How Professionals Think in Action. London: Temple Smith.
Schon, D. 1987. Educating the Reflective Practitioner: Towards a New Design for Teaching and Learning in the Professions. San Francisco: Jossey-Bass.



0 komentar:

Posting Komentar

 

Memahami Model-Model Pembelajaran yang Inovatif Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates