Konsep “Paradigma” Kuhn (1962)
memilki banyak pengertian yang berbeda-beda, yang jelas konsep tersebut telah
menjadi bagian penting dalam pendidikan saat ini. Konsep paradigma Kuhn (1962)
memperlihatkan bagaimana suatu pandangan menggantikan pandangan lain,
sebagaimana revolusi Copernicus yang digantikan revolusi Galileo. Berikut ini
akan disajikan beberapa paradigma pengajaran yang pernah digagas oleh Geoffrey
Squires (1999) dengan dibantu oleh beberapa leteratur pendukung. Masing-masing
peradigma memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri. Setiap kelemahan sustu
paradigma seharusnya bisa ditutupi oleh kelebihan paradigma yang lain.
Pengajaran sebagai COMMON SENSE
Terdapat dua hal yang melatarbelakangi mengapa
pengajaran dianggap sebagai common sense.
Yang pertama, terkait dengan pengalaman sekolah. Kedua, adalah bahwa
pengajaran tidak jauh berbeda dengan apa yang kita lakukan sehari-hari.
Paradigma pengajaran sebagai common sense
memilki beberapa kelemahan. Diantaranya, apa yang disebut dengan kehidupan
sehari hari pada hakikatnya adalah sesuatu yang kita terima secara taken for granted. Untuk menjadi
pengajar yang baik, seseorang tidak bisa menerima kenyataan secara taken for granted. Ada kalkulasi
rasional di dalamnya, dan ada perangkat-perangkat tertentu yang harus
digunakan.
Pengajaran sebagai SENI
Menurut Highet, pengajaran dianggap sebagai seni
karena ia juga menuntut kualitas dan karakteristik personal. Sebagaimana seni,
pengajaran melibatkan metode-metode, seperti bagaimana seorang pengajar harus
menyukai materi dan siswanya, dan juga “kemampuan” semacam memori, kebijakan,
dan kekuatan hati.
Beberapa masalah dalam paradigma pengajaran sebagai
seni. Pertama, ketika pengajaran di
anggap seni, maka ia akan cenderung romantik, daripada disiplin. Artinya,
pengajaran hanya berfokus pada spontanitas, ekpresi, respons kretif, dan
sebagainya, daripada sebagai teknik dan stretegi yang sistematis. Kedua, jika pengajaran dianggap sebagai
kolaborasi gaya. Dengan demikian, konsep gaya itu sendiri sudah problematik sejak
awal, sementara pengajaran saat ini harus dilaksanakan di era standar-standar
dan akuntabilitas. Ada indikator-indikator yang harus dipenuhi oleh seorang
guru dalam proses pengajarannya. Artinya, pengajaran bukanlah skill yang lahir
dari dalam, melainkan ia juga banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal
dan kebijakan-kebijakan yang sering kali “politis”.
Pengajaran sebagai ILMU TERAPAN
Paradigma ini berawal dari asumsi dasar bahwa
pengajaran merupakan kerja profesional yang turut melibatkan prinsip-prinsip
ilmiah dan petunjuk tentang tugas-tugas praktis. Para ilmuwan berusaha
menginvestasikan dan menemukan pola-pola serta regulasi-regulasi fundamental di
dunia alamiah dan sosial. Pengetahuan mengenai pola-pola ini kemudian
memungkinkan mereka untuk percaya diri menciptakan program-program yang efeknya
akan memberikan hasil yang diinginkan. Paradigma pengajaran sebagai ilmu
terapan menemukan kelemahannya. Pertama, model pengajaran masa kini sangat
beragam. Artinya, pengajaran sebagai ilmu terapan tidaklah eklusif, karena ada
banyak pendekatan-pendekatan humanistik dan psikologis yang turut mendasari
proses pengajaran tersebut. Kedua, problem lain dalam paradigam ini adalah
terletak pada gagasan “penerapan” dan
“ilmu”. Artinya, ada perbedaan mendasar antara “penerapan” dan “ilmu”.
Pengajaran sebagai ilmu sudah terbangun dengan baik dalam berbagai literatur
yang ada, tetapi prose penerapannya tidak selalu sama dengan ilmu.
Pengajaran sebagai SISTEM
Gagasan tentang kerja profesional, seperti
pengajaran, juga dapat dilihat dalam konteks pengajaran sebagai sistem.
Paradigma ini sering kali diasosiasikan dengan paradigma sebelumnya (pengajaran
sebagai ilmu terapan), tetapi ada beberapa perbedaan yang mendasari konsep
tersebut. Paradigma pengajaran sebagai sistem tak lepas dari problem. Lindblom
(1959, 1979) mengkritik paradigma ini sebagai paradigma yang tidak optimistik.
Bagi Lindblom, pengajaran sebagai sistem umunya lebih berkaitan dengan ranah
kebijakan publik daripada kompetensi. Artinya, paradigma ini sifatnya sangat
“politik”. Perencanaan pengajaran dalam diagram-diagram dan skema-skema hanya
dilakukan oleh segelintir elite institusi pendidikan, seperti guru, rekan
kerja, dan pegawai pendidikan.
Pengajaran sebagai PRAKTEK REFLEKTIF
Contoh lain dari paradigma pengajaran adalah gagasan
tentang praktik reflektif. Paradigma ini pertama kalinya digagas oleh Schon
(1983, 1987), dan segera memiliki pengaruh luas terhadap bidang-bidang lain
seperti perawatan dan kerja sosial. Gagasan ini sebenarnya lahir sebagai kritik
terhadap “rasionalitas teknis” dan kepercayaan-kepercayaan lain bahwa
pengajaran dapat didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah dan perencanaan nasional.
Paradigma ini juga memiliki kelemahan. Jika refleksi ditempatkan sebagai
satu-satunya elemen dalam aktivitas profesional, hal ini bisa melahirkan
kecenderungan untuk mengabaikan pengetahuan substantif dan skill-skill yang
relevan.
Pengajaran sebagai KOMPETITIF
Paradigma terakhir adalah paradigma yang memandang
pengajaran sebagai kompetensi. Terlepas dari itu, paradigma pengajaran sebagai
kompetensi memiliki kelebihan tersendiri. Secara umum menekankan bidang
vokasional, teknikal, dan profesional sebagaimana yang diinginkan oleh semua
lulusan sekolah. Seorang guru atau pengajar tidak bisa mengabaikan satu
paradigma, karena setiap paradigma memiliki kelemahan, kelebihan dan
parameternya tersendiri. Mengolaborasikan keenam paradigma dalam suatu sesi
pengajaran bisa menjadi pilihan yang bijak, tetapi bukan tugas yang mudah.
Beberapa isu paradigmatik yang harus dipertimbangkan guru sebelum menerapkan
beberapa paradigma secara kolaboratif, antara lain: kebutuhan siswa, dukungan
fasilitas, sifat materi pelajaran, dan tentu saja kemampuan guru itu sendiri.
Daftar Pustaka:
Highet, G. 1963. The
Art of Teaching. London: Methuen.
Kuhn, T.S. 1962. The
Structure of Scientific Revolutions. Chicago: University of Chicago Press.
Lindblom, C.E. 1959. “The Science of ‘Muddling
Through’”Public Administration Review, 19(2),
hlm. 79-88.
Lindblom, C.E. 1979. “Still Muddling, Not Yet
Through”. Public Administration Review, 39(6)
hlm. 517-26.
Schon, D. 1983. The
Reflective Practitioner: How Professionals Think in Action. London: Temple
Smith.
Schon, D. 1987. Educating
the Reflective Practitioner: Towards a New Design for Teaching and Learning in
the Professions. San Francisco: Jossey-Bass.
0 komentar:
Posting Komentar